THIRD - BAB 1 (Part 1)

MS Wijaya
0



                    Kulihat jam di lengan kiriku sudah menunjukkan pukul hampir setengah tujuh kurang tiga menit, itu berarti sudah satu jam lewat lima puluh dua menit dan empat puluh detik aku terjebak di halte transjakarta ini. Langit Jakarta yang kuning ke orenan perlahan menghitam, lampu-lampu kota bertebaran dijalan menyoroti setiap jalan dengan angkuh. Aku lihat diluar kendaraan bermotor bersesakkan satu sama lain, saling meneriaki dengan klakson yang memekakkan telinga. 

                    Para pengendara motor terus mencari celah yang tersedia didepannya untuk sekedar melangkah beberapa meter didepannya. Kepulan asap membentang tiada henti sejak tadi pagi rasanya begitu memuakkan. Untunglah hidungku ini mudah beradaptasi sehingga kau tak perlu repot-repot memakai masker yang beraneka macam orang-orang pakai. Walau terkadang aku terpaksa menggunakan masker saat ada kopaja nakal yang kadang menyemburkan kepulan asap hitam yang sangat-sangat mengganggu. Jadi aku pun sudah mempersiapkan satu masker khusus dalam tasku. Tapi jarang aku pakai, rasanya repot sekali memakai masker apa karena aku tak terbiasa memakai masker seperti orang-orang Jakarta kebanyakan? Entahlahh intinya aku lebih merasa bebas san lega tak memakai masker. 

                   Memakai masker hanya membuatku bertambah sesak. Mataku berkeliling melihat orang-orang disekitarku yang kian lama semakin menumpuk. Antrian yang tadinya hanya sekitar pintu otomastis kini sudah sampai pintu otomastis sebelahnya. Bagiku pemandangan ini adalah hiburan, rasanya begitu menyenangkan ditengah orang-orang dan memperhatikan mereka satu persatu. Membayangkan apa yang mereka pikirkan saat ini dari ekspresi mereka. kadang aku membuat monolog tentang seseorang yang didepanku dibelakangku disampingku atau sebrangku. Tergantung mana ekspresi yang menyenangkan untuk dijadikan kelinci percobaan. Pernah aku berpikir mungkin aku gila karena terlalu sering berbicara sendiri, tapi dari artikel yang pernah aku baca, berbicara sendiri adalah suatu bakat yang menandakan kecerdasan seseorang. Jadilah kini aku mengeksplor ke-monolog-an diriku sendiri, karena rasanya lebih nyaman berbicara dengan diri sendiri ketimbang dengan orang lain. 

                       Kadang berbicara dengan manusia lain mereka tak bisa mendengarkan dengan baik apa yang kita bicarakan, karena mereka sibuk dengan gadget yang tak pernah lepas dari tangannya. Kalaupun mereka mendengarkan dengan senang hati mereka selalu menyela disetiap saat seakan-akan mereka sudah tau yang apa aku pikirkan. Jadilah kemonolag-an ini menjadi suatu kebiasaan yang menyehatkan. Kita coba saja ambil contoh ibu-ibu paruh baya yang ada diseberangku itu, ia mengenakan bluse merah motif bunga kuning besar, yang warnanya sudah pudar. Ia membawa tentengan besar dikedua tangannya yang sudah mulai berkeriput dengan urat-urat yang menonjol disana-sini. Wajahnya terlihat lelah sekali tapi matanya berkilat penuh semangat, seakan semua yang ia lakukan takan membuatnya lelah sedikitpun. Oh jangan-jangan rasanya terlalu kasihan kalau ia menjadi sasaran monolog anehku hari ini. Aku berdoa semoga ibu itu selalu bahagia seperti saat ini dan apa yang ia perjuangkan akan membuatnya mendapatkan hasil yang indah. 

                         Mataku kembali liar mencari-cari korban. Pemandangan yang biasa seperti hari pertama aku menginjakkan kaki di halte transjakarta ini, selalu sibuk dengan aktifitas para manusia Jakarta yang seperti robot disetel untuk berangkat pada enam pagi dan sudah harus pulang jam lima sore dari kegiatan mereka. Terburu-buru, mengejar kendaraan yang akan mereka naiki. Bejubel ditengah kerumunan yang lainnya. Wajah-wajah lelah akan terlihat dijam seperti ini, wajah-wajah kusut dipagi hari saat berangkat akan memenuhi kendaraan umum seperti transjakarta ini. Semuanyya sibuk dengan dunia mereka yang terpusat di batok kepala mereka masing-masing. 

                         Terlebih lagi saat hari senin, wajah lelah dan kusut menjadi satu dipagi hari dan sorenya membuat mereka seperti wanita sedang PMS lebih dari waktunya sensitif dan slogan “senggol bacok” tertulis didahi mereka. Sehingga sedikit tersentuh rasanya harus memuntahkan sumpah serapah yang tak pantas. Atau kalau sedang malas membuka mulut wajah sinis antagonis akan merekah diwajah mereka, mata menyipit tajam kearah lawan dan bibir terangkat kekiri atau mulut bekomat-kamit seperti ikan koi kehabisan air.
                          Ada sesorang laki-laki keturunan timur tengah berdiri tak jauh didekatku wajahnya terlihat bingung sesekali melihat ke handphonenya lalu ke papan jalur transjakarta yang ada diatas pintu otomastis seperti mengecek ia tak salah tempat. Aku tebak ini pasti pertama kalinya ia naik transjakarta, terlihat bingung itulah tandanya, aku juga dulu pernah merasakannya saat pertama kali menggunakan transjakarta. Malah aku hampir berkeliling Jakarta dari Jakarta barat sampai kejakarta timur karena kau tidak tahu harus berhenti dimana, maklumlah aku ini tipe manusia yang tak terlalu mengenal jalan dan kebiasaan bodohku yang lainnya adalah malu bertanya yang membuat potensiku untuk hilang atau tersasar lebih besar. 

                           Aku terlalu takut bertanya pada orang asing, aku takut kalau mereka malah menunjukkan arah yang salah dan menyesatkanku. Itu manusiawi bukan?? Prinsipku lebih baik tersesat karena ulah sendiri dari pada karena mengikuti orang lain.  Laki-laki itu terlihat sangat tampan matanya bulat besar yang menjorok kedalam dengan mudah bisa membuat semua wanita meleleh dibuatnya, terlebih lagi alisnya yang tebal seperti ulat bulu menambah cantik matanya. Hidungnya yang mancung sempurna membuat iri para peranakan pribumi yang hidungnya standar atau minimalis (maaf aku tidak akan mengatakan kata pesek, karena rasanya pesek itu terlalu berkonotasi rendah hahaha) seperti  aku.   

                          Tubuhnya yang atletis terlihat dari kaos lengan panjangnya yang ia pakai, sebenarnya tidak terlalu atletis hanya saja terlihat ada otot-otot yang menonjol. Dan tingginya sekitar seratus delapan puluh lima, jadi aku hanya sebatas dadanya saat disejajarkan. Rasanya aku terlihat seperti kurcaci jika berdiri disampingnyanya. Aku bersender pada pintu otomatis yang terbuka lebar itu sepertinya pintu otomatis itu rusak atau memang sengaja dibuka untuk membiarkan angin penuh polusi ini masuk dan sedikit menyegarkan para peumpang yang sudah mulai bosan dan kesal menunggu. Aku masih memperhatikan laki-laki itu. Masih dengan wajah bingungnya yang tetap tampan. Dengan jambulnya yang kokoh itu. 

             But wait-wait apa itu yang didalam tasnya yang mengembang seperti perut ibu hamil. Ya tuhan jangan-jangan dia membawa bom didalam tasnya. Rasa panik dan terkejut segera menjalariku, lagi-lagi akibat naluri monolog ku aku jadi lebih sering menafsirkan sesuatu dengan cara berpikir yang aneh dan terpengaruh film-film barat yang terus mempropogandakan terorisme adalah islam dan islam itu berarti orang arab. Apa benar itu yang didalam tasnya itu bom? Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Bagaimana kalau dia meledakkan dirinya dan terjadi bom bunuh diri disini? Aku belum mau mati? Aku masih muda!!!! Dan aku belum menikah!!

“Maaf mbak ini berhenti di halte kebun jeruk-kan?” tiba-tiba suara laki-laki itu mengagetkan suaranya keras dan pelafalannya cepat sehinggga aku harus menunggu beberapa saat untuk mencerna pertanyaannya yang tak langsung kujawab terlebih lagi otakku masih memikirkan kalau dia adalah seorang teroris yang siap meledakkan dirinya kapan saja.

“Iyya” jawabku segera mungkin sambil menelan ludah dan terus memperhatikan gerak-geriknya yang barangkali akan menekan tombol bomnya kapan saja. Aku akan bersiaga meloncat dari halte ini karena posisiku yang menguntungkan berada tepat didepan pintu otomatis, paling parah kakiku akan sedikit terkilir jika aku loncat dari sini untuk menghindar dari bomnya atau aku juga akan tetap terkena bomnya. Toh aku belum tahu berapa kekuatan bom tersebut, bagaimana jika kekuatan bom itu mampu menghancurkan seluruh area halte busway ini? Mati sudah aku!!! Aku seperti tak punya harapan lagi.

“Mbak sakit ya? Kok tiba-tiba pucet gitu?” Tanya laki-laki arab itu lagi tangannya siap memegang keningku, tapi cepat kutepis tangannya yang lebar itu.

“Nggak kok saya sehat” jawabku masih waspada. Astaga apa-apaan laki-laki itu? berani-beraninya dia mau menyentuh keningku ini. Padahal kenal saja tidak, apalagi barusan dia memanggil ku dengan sebutan mbak?? Helloo emangnya aku ini terlihat seperti tukang jamu atau sudah terlalu tua sehingga aku dipanggil mbak? Sebenarnya aku pucat karena alibi-alibi yang kususun sendiri tentang kemungkinan dia adalah teroris itu membuat perutku mual dan pusing.

“Oh ok!” terlihat laki-laki itu kasian padaku. Aku segera membalikkan tubuhku menghadap kejalan raya yang masih dipadati kendaraan. Aku segera menepis pikiran-ku tentang terosisme tadi. Kadang berpikir atau berimajinasi berlebihan membuat ketakutan yang tak terjadi menjadi seperti kenyataan. Untungnya berselang beberapa menit kemudian transjakarta yang kutunggu datang. Dengan segera aku masuk kedalam transjakarta gandeng itu, aku memilih tempat duduk paling belakang menghindari laki-laki arab itu, aku takut pikiranku kembali berimajinasi liar.

“hufft” aku menghembuskan nafas dari hidungku, lega rasanya bisa duduk setelah berdiri hampir dua jam terlebih terbebas dari laki-laki itu.

“Hei” tiba-tiba ada yang menyapaku dari samping kiriku. Refleks aku melihat kearah asal suara itu. dan aku terkejut bukan main ternyata yang menyapaku adalah laki-laki arab tadi!! hampir saja aku berteriak kencang karena kaget laki-laki itu berada disampingku? Untungnya aku segera menutup mulutku dengan kedua tanganku.

“hai…” balasku masih dengan mata melotot tak percaya dia kini disampingku. Otakku kembali merefleksikan gambaranku yang telah kuimajinasikan seperti di film-film, gambaran akan dia meledakkan dirinya sendiri lalu dengan seketika bom itu melumat kami semua menjadi abu yang tak dapat dikenali lagi.

“Mbak kenapa? Kok melotot? Pucet lagi?” ia memberondongku dengan pertanyaan dengan cepat dan suaranya yang keras.

“Nggak, gue itu kaget karena tiba-tiba lu muncul lagi!” balasku bersungut-sungut tak peduli dia mau dengar atau tidak. Laki-laki itu malah terkekeh sendiri sepertinya puas telah membuatku kesal. 

Sumber gambar http://cr3stf4ll.blogspot.co.id/2009/08/harmoni.html
#ODOP #FebruariMembara #HariPertama

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)