Yuganta Part 5 - Darsa

MS Wijaya
6



Pak Hendrik masih menjelaskan tentang rumus turunan. Aku paling benci matematika, segala hal tentang hitung-hitungan yang bisa mempercepat proses kebotakan pada kepalaku. Mungkin setelah lulus SMA kepalaku akan botak licin karena sudah tidak ada lagi rambut yg tersisa akibat rumus-rumus ini.

"Dar, liat dong" bisik Toni sambil menyenggol lengan kiriku. 
"Liat apaan?" aku jawab dengan malas.
"Itu soal yang dikasih pak Hendrik. Jiahh, dia malah gambar" Toni menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal dengan frustasi. Aku tahu dia benci pelajaran matematika, sama sepertiku. Tapi berbeda denganku, walaupun membenci matematika aku masih bisa menyerap ilmu membosankan itu. Tidak dengan Toni, ia lebih baik menyerah dqn lebih suka mencontek pekerjaan milikku. Tapi dia akan minta diajari keesokan harinya.

"Santai aja, paling jadi PR. Sebentar lagi udah jam pulang kok" jawabku terkekeh. Baru selesai aku mengatakan itu, bell sekolah berbunyi dengan nyaring. Membuat sebagian siswa di kelas bernapas lega, bahkan bersorak kegirangan. Tak peduli pak Hendrik masih ada di depan kelas. Pak Hendrik menutup kelas dan meminta soal latihannya dijadikan PR dengan ditambah lagi sepuluh soal.

"Lu gambar apaan sih? Orang disuruh ngerjain soal, malah gambar nih bocah." Toni langsung mengambil buku tulisku, memperhatikan sesaat hasil gambar yang aku buat. 

"Wah lu baca berita dikoran pagi ini juga Dar? Emang ngeri banget ya. Sekarang parah banget iklimnya" ujar Toni sambil mengembalikan buku tulisku.

"Berita apaan?" tanyaku. Aku paling malas menonton berita, apalagi membaca berita di surat kabar.

"Dih, itu yang lu gambar. Itu pemandangan banjir di pacitan kemarin kan?"

"Apaan, gue aja gambar ngasal kok." ujarku santai sambil membereskan barang-barangku yg masih diatas meja. 

"Boong lu Dar, gambar lu tuh mirip banget sama gambar headline di berita koran pagi ini loh." Toni sengit, sambil mengeluarkan tiga sisa surat kabar dari tas-nya. Toni memang bekerja sebagai pengantar koran di kompleks dekat sekolah. Jadi dia selalu membawa sisa korannya ke sekolah. Yang biasanya akan dijual ke tukang gorengan depan sekolah. Aku mengambil koran yang Toni berikan dan melihat gambar headline yang memenuhi setengah halaman surat kabar itu. Bertuliskan Banjir Pacitan, banjir terparah tahun ini. Foto yang terpampang disanapun sangat mirip dengan sketsa yang aku buat barusan. Pemandangan yang diambil dari atas, air penuh membanjiri areal dibawahnya. Gedung besar, yang seperti sekolahan hanya menyisakan atapnya dan sebagian lantai paling atas.

Pepohonan pun hanya menyisakan pucuknya yang hijau. Foto itu lebih mengerikan dari sketsa dibuku tulisku. Karena lebih nyata, dan benar-benar terjadi.

"Ton, gue serius. Berani sumpah, gue nggak pernah liat gambar kayak gini" aku bersungguh-sungguh meyakinkan Toni. Bukankah dia tahu sendiri orangtuaku tidak berlangganan koran dari dirinya. Kalaupun Toni mampir sekalian untuk menjemputku.

"Jangan main-main lu Dar." 

"Kalau gitu, ada yang perlu gue liatin ke lu Ton" ujarku. Lalu mengajaknya pulang bersama dan mampir kerumahku. Sepanjang perjalanan menaiki angkutan umum, kami terdiam. Lebih tepatnya aku yang banyak terdiam. Membandingkan bolak-balik gambar yang kubuat dan foto di surat kabar yang Toni Berikan.

"Ini Ton liat…" aku memperlihatkan semua sketsa yang ku gambar seusai bangun dari mimpi-mimpi burukku. Toni tercengang ngeri, melihat sketsaku yang kesemuanya menggambarkan kehancuran yang mengerikan. Aku hanya menelan ludahku, dan merasakan kerongkonganku terasa kering sekali.

Semoga ini hanya kebetulan saja, bukan seperti yang kupikirkan sejak tadi. 

Tags

Post a Comment

6Comments

Post a Comment