Setelah berpikir
semalaman aku akhirnya memutuskan untuk menuruti kemauan Bapak, untuk sekolah
ditempat kedua kakakku sekolah. Aku tidak bisa membayangkan aku akan setiap
hari ke sawah ngangon kebo, terkena
lumpur setiap hari dan rumput-rumput liar yang membuat kulitku gatal. Apalagi
sepertinya membosankan akan tinggal dikampung. Sempat terlintas dipikiranku
untuk memilih ngangon kebo disawah
karena, Aku pernah baca cerita tentang pak tani, yang setiap hari bekerja
dengan keras menggarap sawah dengan kerbau kesayangannya lalu jika lelah
melanda ia akan berteduh dibawah pohon sambil memainkan sulingnya dengan merdu,
tapi aku tak bisa memainkan suling pasti tidak akan indah seperti dalam cerita
tersebut, apalagi aku bukan tasya sang anak gembala yang selalu riang sehat
sentosa. Lagi pula aku ingin sekali mengejar cita-citaku untuk menjadi dokter
hewan, karena aku suka dengan hewan kecuali bangsa reptil. Karena tatapan mata
mereka begitu mengerikan. Jadi sepertinya aku harus merubah cita-citaku
dengan segera.
"Bu, Tian milih sekolah ditempat mbak deh" ujarku tiba-tiba sambil membantu ibu didapur menyiangi kangkung untuk dimasak.
"Nah gitu dong le, bapak pasti tau mana yang baik buat kamu, toh kamu belum coba kan? lagi pula disana kan bagus sekolahnya besar"
"Tapi pulangnya setahun dua kali bu"
"Disanakan kamu akan punya banyak teman, nanti kamu juga lupa pulang" jawab ibu sambil tersenyum. Tangannya masih menyiangi kangkung. Pikiranku melayang ke sekolah tempak kedua kakak perempuanku sekolah.
Sekolah asrama, tempatnya memang besar bukan main. Banyak gedung-gedung tinggi disana bahkan ada stadion lapangan yang besar sekali, walaupun aku tak pernah suka dengan permainan bola. Untuk biaya sekolah disana kata Bapak harus membayar 3500 dolar. Atau setara dengan3.5000.000 rupiah, Tapi beruntung Bapak karyawan disana, jadi gajinya dipotong setiap bulannya untuk membayar uang sekolah. Sebenarnya aku tidak mau sekolah disana bukan karena pulang/libur yang hanya setahun dua kali. Tapi disana peraturannya sangat ketat. Diantaranya yang kutahu menurut kedua mbakyu-ku tidak boleh makan permen, chiki, makanan yang mengandung msg dan yang paling mengerikan lagi disana tidak ada televisi dan dilarang menggunakan handphone.
"Bu, Tian milih sekolah ditempat mbak deh" ujarku tiba-tiba sambil membantu ibu didapur menyiangi kangkung untuk dimasak.
"Nah gitu dong le, bapak pasti tau mana yang baik buat kamu, toh kamu belum coba kan? lagi pula disana kan bagus sekolahnya besar"
"Tapi pulangnya setahun dua kali bu"
"Disanakan kamu akan punya banyak teman, nanti kamu juga lupa pulang" jawab ibu sambil tersenyum. Tangannya masih menyiangi kangkung. Pikiranku melayang ke sekolah tempak kedua kakak perempuanku sekolah.
Sekolah asrama, tempatnya memang besar bukan main. Banyak gedung-gedung tinggi disana bahkan ada stadion lapangan yang besar sekali, walaupun aku tak pernah suka dengan permainan bola. Untuk biaya sekolah disana kata Bapak harus membayar 3500 dolar. Atau setara dengan3.5000.000 rupiah, Tapi beruntung Bapak karyawan disana, jadi gajinya dipotong setiap bulannya untuk membayar uang sekolah. Sebenarnya aku tidak mau sekolah disana bukan karena pulang/libur yang hanya setahun dua kali. Tapi disana peraturannya sangat ketat. Diantaranya yang kutahu menurut kedua mbakyu-ku tidak boleh makan permen, chiki, makanan yang mengandung msg dan yang paling mengerikan lagi disana tidak ada televisi dan dilarang menggunakan handphone.
0 Comments