Ada sebuah prosa karangan Dee dari
bukunya “Filosofi Kopi” cerita tentang sebuah pohon yang semakin tinggi ia akan
semakin tidak melihat apa yang dibawahnya. Yahh itu perumpamaan yang sangat
dalam menurut gue. yang buat gue sadar dan manggut-manggut mengiyakan sekaligus
mengamini apa yang terkandung didalamnya.
Dari yang gue tangkap dalam prosa
yang berjudul “Jembatan Zaman” adalah dimana saat kita dewasa kita udah gak bisa yang namanya ngrasain
kebahagian yang sederhana. Semakin kita beranjak dewasa rasanya kebahagian itu
seperti barang mahal yang sulit dijangkau.
Coba kita ingat-ingat lagi “sesuatu apa yang dulu waktu kita kecil
bikin kita seneng minta ampun??”
Kalau diingat-ingat Semuannya sangat,
sangat, sangaaaaaatttt sederhana, dari
main perahu kertas yang kita layarin diselokan depan rumah. Main masak-masakkan
yang bahannya dari dedaunnan yang ada di
kebun dan tanah yang dicampur air. Saat kita kecil dulu semuanya adalah
keajaiban, hal kecil pun menjadi sangat indah. Karena kita dulu masih berpikir
sederhana, saat itu kita belum terlalu banyak dijejali bermacam-macam teori dan
disodori perasaan-perasaan yang terlalu membelenggu.
Semakin kita dewasa kita semakin
dihadapkan norma-norma yang sulit dimengerti dan harus dipatuhi.
Dulu kita belum mengenal apa itu
namanya “CINTA” kita Cuma ngrasain kenyamanan disetiap kita bersama teman-teman
kita dan orang-orang kita sayang. Rasa seneng saat kita berkumpul terus
berpikir akan main apa kita hari ini? Entah itu ular naga, petak umpat, karet,
kelereng, engklek, atau kita sekedar bermain dengan imajinasi kita untuk
memainkan tokoh-tokoh super yang kita tonton ditelevisi. Inget gak dulu kita
pernah berantem karena rebutan siapa yang pantes jadi Ranger Merah, atau siapa
yang pantes jadi ultramen 3 ketimbang jadi monsternya???
Membanding-bandingkan masa kecil kita
dulu emang keliatan jauh banget bedanya. Emang dulu masa kecil kita bahagia.
Tapi apa sekarang kita ngrasain bahagia itu?? lebih banyak galau-nya kayaknya(Atau
ini cuma gue doang yang ngrasain??), mulai dari karena jomblo sampe yang punya
pacar yang nggak peka.
Saat kita dewasa rasa bahagia kita
terukur dari sebuah status “Jomblo” dan “Pacaran”. Atau oleh barang-barang yang
lagi ngtrend, kayaknya happy banget kalo udah nunjukin barang-barang yang lagi
ngtrend ke temen-temen kita. Atau pamer gebetan :D
Masih dalam prosa tersebut di kalimat
pembukanya yang berbunyi “Bertambahnya usia bukan berarti kita paham
segalanya”
Ternyata memang betul pepatah yang
mengatakan kedewasaan seseorang tidak terukur dari umur, tapi dari pengalaman
hidup yang dia punya. Seseorang boleh berumur, tapi belum tentu kedewasaannya
ikut bertambah. Sudah banyak contohnya mau itu orang disekitar kita bahkan
sampai public figure yang menunjukkan kebenaran pepatah tersebut.
Dari prosa it gue banyak belajar,
banyak merenungi kembali hari-hari gue yang telah lalu. Dan semuanya memang
benar adanya. Rasanya jadi pengen kembali ke masa kecil dimana kebahagian itu
cukup berlari-larian di depan halaman masjid sehabis shalat maghrib. Dimana kesedihan hanya karena
dilarang emak beli permen atau mainan.
Tapi gue sadar sepenuhnya itu
mustahil, kecuali gue seorang time traveler macam Tim Lake atau Henry. Dan
kedewasaan itu emang punya konsekuensi yang berat. Dimana tanggung jawab sudah
kita pikul sendiri, berdiri dengan kaki sendiri, dan sudah saatnya menjadi
benteng bagi orang yang kita kasihi.
Setiap
jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah
tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama, bukan berarti kita lebih
mengerti dari semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia segala tahu.
(Dee Lestari
– Filososfi Kopi, Hal 69)
3 Comments
Suka banget dengan tulisan ini. Masa kecil memang membahagiakan.
ReplyDelete.
Makasih mba wid, hehehe cari mesin waktu.
DeleteHoaa bikinn plesbek masa kecil wkwk🙈😂
ReplyDelete