The great Horor

MS Wijaya
0
Mungkin sebelumnya aku tidak akan pernah percaya dengan malam jumat yang horor. Karena setan atau sejenisnya itu hanya imajinasi belaka. Hasil pemikiran bawah sadar yang dibesar-besarkan hingga terbawa ke alam nyata.

Tapi tidak untuk hari ini, tahun ini dan di semester empat ini. Baru aku akui malam jumat itu malam yang sakral dan angker. Lihat saja kini kelas yang biasanya tak pernah sepi oleh saling ejek atau guyonan dari anak-anak kelas, mendadak sepi hening dan benar-benar hening. Bahkan detak jam dinding yang sengaja diletakkan membelakangi mahasiswa itu terdengar disetiap gesekannya.

Mulut-mulut yang biasanya jahil, tiba-tiba seperti baru saja dijahitmulut mereka dengan rapat, saat sesosok tinggi besar memasuki kelas kami. Ya sosok bertubuh besar itu langsung duduk dibangku dosen, dengan penuh khidmat duduk seperti karang dn menyiapkan buku materi dan kacamata minusnya. Sesekali menyeruput aqua gelas yang ia bawa.

Mata bulatnya yang tajam memindai dengan keji ke setiap mahasiswa yang duduk dihadapannya. Namanya Meslo Pardede SE. ME. Satu-satunya dosen paling killer di kampus STIKOM CKI ini, yah begitulah menurut kabar burung yang kami dengar dari senior sebelumnya.

Karena ini pertama kalinya aku dn teman-temanku diajarkan oleh beliau. Sebenarnya ku sudh pernah menghadapi beliau saat aku masuk ke kelas senior semester lalu untuk meminta sumbangan untuk kawan yang saat itu tertimpa musibah, yah bagaimana lagi? Karena itu tugasku sebagai DPM untuk menggalang dana bagi Setiap mahasiswa/i yang terkena musibah. Dan suasananya sama persis seperti dikelasku saat ini, sangat tenang saat aku memasuki kelas yang diajar beliau.

Karena saat itu aku belum tahu siapa beliau dan bagaimana wataknya, aku langsung masuk serta meminta izin untuk menggalang dana, namun saat aku berbicara didepan kelas menjelaskan maksud kedatanganku yang dengan tergagap berusaha mengtakannya, maklum saja aku grogi. Apalagi berbicara di depan kelas senior untuk meminta sumbangan, itu merupkan usaha yang berat ditambah lagi dosen killer yang ada disampingku.

Merasa bagai umpan empuk, ternyata benar Beliau mencecarku memprotes gayaku dari saat masuk hingga berbicara yang gagap karena grogi. Aku diperintahkan mengulang maksud tujuanku sampai bibirku fasih tanpa grogi atupun bergetar. Dengan sukses aku menjadi bual-bualan di depan kelas senior dan kejadian itu tak akan pernah aku lupakan..

Sampai hari ini, saat ini kini ada dihadapanku. Entah apa ia masih ingat dengan bocah ingusan yang semester lalu dicecarnya. Ku berharap ia melupakannya.

Tanpa babibu beliau memanggil nama-nama sesuai dengan yang tertera diabsen yang ia pegang. Dengan tatapan yang tajam ia melihat setiap siswa yang menunjuk tangan saat dipanggil namanya. Bagaikan elang yang melihat ayam di bawahnya penuh nafsu ingin mencabik-cabik mangsanya itu.

Selamat, ia tak mengenaliku saat namaku disebut dan mengacungkan tanganku seraya berkata 'hadir pak'.

*****

Seperti malam jumat biasanya, kelas masih sepi dan makin tegang. Ada tugas dari beliau, terlihat wajah-wajah tegang diantara teman-teman kelasku. Dan pastinya mereka belum mengerjakan sehingga mereka begitu tegang dan harap-harap cemas agar beliau lupa telah memberikan tugas minggu lalu, karena biasanya dosen-dosen seperti itu. Aku termasuk mahasiswa yang rajin mengerjakan tugas, kadang keki juga sudah capek-capek mengerjakan tugas tapi tidak jadi dikumpulkan karena dosen yang memberikan lupa. Dan tentunya kami sebagai kaum minoritas, harus mengalah mengikuti mereka tidak mengerjakan diam membisu seakan tidak ada tugas.

"Kemarin saya ngasih tugas kan??" ujar Pak Meslo memecah keheningan. Seisi kelas saling lempar pandang, swakan meminta kesepakatan untuk menjawab tidak.

"Ayoo kumpulkann!!" gertaknya dengan nada bataknya. Aku memandang teman-teman dibelakangku yang terlihat pucat, mereka tak berkutik. Pasti mereka tidak mengerjakan tugas seperti biasanya. Aku menengok bangku sebelahku, tempat mas Tulus yang juga menengok kearahku. Aku tahu ia sudah mengerjakan sama sepertiku. Dengan cepat kami maju dan menyerahkan tugasnya, sebelum Pak Meslo mengamuk karena tidak ada yang mengerjakan tugasnya.

"Dua orang aja nih yang ngerjain??" bentaknya sambil melotot kearah kami.

Tidak ada jawaban, semuanya menunduk tak berani melihat beliau saat ini.

"Yang nggak ngerjain silahkan berdiri maju ke depan, cepat!!"  perintahnya.

Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya teman-temanku maju semua, tinggallah aku dan Mas Tulus yang duduk dibangku.

"Septian, yang mana??" tanya Pak Meslo saat memeriksa tugasku.

"Saya pak" jawabku dengan cepat.

"Maju!! Kenapa ngerjainnya pake pensil?? Baru ngerjain tadi ya??" berondongnya.

"Ngg, nggak pak. Saya lupa pak nggak ditebalin pakai pulpen lagi" jawabku gagu. Bagaimana tidak, kini tatapan tajamnya ia arahkan benar-benar kearahku.

"Halah, alasan udah maju kamu sama teman-teman yang lain" perintahnya. Tanpa bertanya lagi akupun maju bergabung dengan teman-temanku yang lain.

Jadilah kami dihukum untuk membeli kertas polio dan mengerjakan tugas diluar kelas dan boleh masuk jika sudah selesai.

Baru kali ini dapat dosen yang sangat keras atau killer semacam itu. Jadilah kelas sepi saat pelajarannya, yang biasanya cerewet akan berubah menjadi putri solo. Yang biasanya malas jadi rajin 😁😁.

Begitulah akhirnya kita bertemu selama tiga semester dan mempertahankan keadaan kelas seperti itu. Walaupun galak bin killer, Pak Meslo selalu memberikan pelajaran pelajaran hidup yang baik untuk kami. Melatih cara bicara kita didepan orang banyak. Aku jadi teringat saat pelajarannya ia selalu memberikan pertanyaan dan akan selalu meminta ulang jawaban yang kita berikan kalau kita menjawab dengan gagap. Atau selalu menanyakan kembali jawaban kami untuk meyakinkan jawaban yang kita berikan. Intinya untuk melatih kita untuk menjawab dengan yakin tidak takut salah.

Satu lagi pesan yang terngiang-ngiang dikepala dari Pak Meslo yaitu "Kalau mau bebas ngomong, jangan mau disuapin" ngerti gak maksudnya?? Ahahahaha

Post a Comment

0Comments

Post a Comment (0)