Catatan Kecil - When I get Older

MS Wijaya
3




Ada sebuah prosa karangan Dee dari bukunya “Filosofi Kopi” cerita tentang sebuah pohon yang semakin tinggi ia akan semakin tidak melihat apa yang dibawahnya. Yahh itu perumpamaan yang sangat dalam menurut gue. yang buat gue sadar dan manggut-manggut mengiyakan sekaligus mengamini apa yang terkandung didalamnya.
Dari yang gue tangkap dalam prosa yang berjudul “Jembatan Zaman” adalah dimana saat kita dewasa kita udah gak bisa yang namanya ngrasain kebahagian yang sederhana. Semakin kita beranjak dewasa rasanya kebahagian itu seperti barang mahal yang sulit dijangkau.

Coba kita ingat-ingat lagi “sesuatu apa yang dulu waktu kita kecil bikin kita seneng minta ampun??”

Kalau diingat-ingat Semuannya sangat, sangat, sangaaaaaatttt  sederhana, dari main perahu kertas yang kita layarin diselokan depan rumah. Main masak-masakkan yang bahannya dari dedaunnan  yang ada di kebun dan tanah yang dicampur air. Saat kita kecil dulu semuanya adalah keajaiban, hal kecil pun menjadi sangat indah. Karena kita dulu masih berpikir sederhana, saat itu kita belum terlalu banyak dijejali bermacam-macam teori dan disodori perasaan-perasaan yang terlalu membelenggu.
Semakin kita dewasa kita semakin dihadapkan norma-norma yang sulit dimengerti dan harus dipatuhi.

Dulu kita belum mengenal apa itu namanya “CINTA” kita Cuma ngrasain kenyamanan disetiap kita bersama teman-teman kita dan orang-orang kita sayang. Rasa seneng saat kita berkumpul terus berpikir akan main apa kita hari ini? Entah itu ular naga, petak umpat, karet, kelereng, engklek, atau kita sekedar bermain dengan imajinasi kita untuk memainkan tokoh-tokoh super yang kita tonton ditelevisi. Inget gak dulu kita pernah berantem karena rebutan siapa yang pantes jadi Ranger Merah, atau siapa yang pantes jadi ultramen 3 ketimbang jadi monsternya???

Membanding-bandingkan masa kecil kita dulu emang keliatan jauh banget bedanya. Emang dulu masa kecil kita bahagia. Tapi apa sekarang kita ngrasain bahagia itu?? lebih banyak galau-nya kayaknya(Atau ini cuma gue doang yang ngrasain??), mulai dari karena jomblo sampe yang punya pacar yang nggak peka.

Saat kita dewasa rasa bahagia kita terukur dari sebuah status “Jomblo” dan “Pacaran”. Atau oleh barang-barang yang lagi ngtrend, kayaknya happy banget kalo udah nunjukin barang-barang yang lagi ngtrend ke temen-temen kita. Atau pamer gebetan :D

Masih dalam prosa tersebut di kalimat pembukanya yang berbunyi “Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya”

Ternyata memang betul pepatah yang mengatakan kedewasaan seseorang tidak terukur dari umur, tapi dari pengalaman hidup yang dia punya. Seseorang boleh berumur, tapi belum tentu kedewasaannya ikut bertambah. Sudah banyak contohnya mau itu orang disekitar kita bahkan sampai public figure yang menunjukkan kebenaran pepatah tersebut.

Dari prosa it gue banyak belajar, banyak merenungi kembali hari-hari gue yang telah lalu. Dan semuanya memang benar adanya. Rasanya jadi pengen kembali ke masa kecil dimana kebahagian itu cukup berlari-larian di depan halaman masjid sehabis shalat maghrib. Dimana kesedihan hanya karena dilarang emak beli permen atau mainan.

Tapi gue sadar sepenuhnya itu mustahil, kecuali gue seorang time traveler macam Tim Lake atau Henry. Dan kedewasaan itu emang punya konsekuensi yang berat. Dimana tanggung jawab sudah kita pikul sendiri, berdiri dengan kaki sendiri, dan sudah saatnya menjadi benteng bagi orang yang kita kasihi.

Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama, bukan berarti kita lebih mengerti dari semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia segala tahu.
(Dee Lestari – Filososfi Kopi, Hal 69)

Post a Comment

3Comments

  1. Suka banget dengan tulisan ini. Masa kecil memang membahagiakan.
    .

    ReplyDelete
  2. Hoaa bikinn plesbek masa kecil wkwk🙈😂

    ReplyDelete
Post a Comment