Malam ini terasa
dingin sekali, karena cuaca diluar sehabis hujan deras sejak sore. Aku terkejut
melihatmu datang di depan pintu rumahku dengan basah kuyup. Terlebih lagi
melihat wajahmu yang lebih mendung dari langit sore dikala badai.
Selesai kau
berbenah diri, berganti pakaian dengan kaos hangatku yang terlihat kebesaran
ditubuh-mu kau masih terdiam, duduk di sofa kuningku. Melihat dengan tatapan
kosong ke acara televisi yang jelas tak kau perhatikan sama sekali.
Tanpa bertanya
lagi aku pun membuatkan satu poci teh yang membuatmu selalu datang kepadaku.
Satu poci yang bisa kau habiskan sendiri tanpa bantuanku. Aku tak mau bertanya
apa-pun padamu saat ini, toh aku sudah mengerti akan sikapmu, jika kau ingin
mengatakannya, pasti akan mengatakannya.
Aku teringat
saat awal dimana kita bertemu, sore itu kita tak mengenal satu sama lain
tentunya. Aku ingat sekali kau baru pindah tepat disamping rumahku. Kita
bertegur sapa saling memperkenalkan diri, dan kebetulan aku sedang menikmati teh
diteras sendirian seperti biasa.
Aku mengajakmu
untuk minum teh bersama, dan tanpa ragu pula kau ikut bergabung minum teh
bersamaku. Wajahmu nampak kuyu dan layu karena baru saja selesai beberes
barang-barangmu.
Saat kau sesap
satu tegukan teh-ku, jelas terlihat dimatamu ada sesuatu yang membangkitkan
suasana hatimu menjadi lebih ringan.
“Ini teh paling
enak yang pernah aku minum” ujarmu.
Sejak saat itu pulalah, sore hari menjadi
waktu kita berdua untuk menikmati tehku dan beberapa snack yang kau beli di
jalan depan sebelum masuk ke gang kompleks kita.
Saat kau
menikmati teh buatanku, kau bercerita apa saja mulai dari hal remeh temeh
seperti cat kukumu yang beda sebelah hingga urusan cintamu yang bagaikan
didalam film-film romantis hollywood.
Kau menceritakan
bagaimana mata Anton kekasihmu itu memandangmu dengan penuh cinta, “Seakan aku hanyalah satu-satunya wanita
didunia ini” ujarmu saat itu.
Aku hanya bisa mendengarkan, karena begitulah
aku. Kita saling melengkapi kau jadi mulut aku yang jadi telinga. Kau yang
menjadi mata untuk melihat, aku cukup menjadi kulit yang hanya dapat merasa.
Kau bercerita
betapa engkau mencintai Anton dengan sepenuh hatimu. Bagaimana pengorban-mu
untuknya. Tapi ia malah justru berbuat sebaliknya. Aku sudah memintamu untuk
meninggalkannya bukan? Tapi kini aku terlalu bosan untuk mengatakan itu, karena
kau tak pernah mau mendengarkan apa yang aku katakan. Kau bilang di adalah cinta mati-mu.
Dan hari ini kau
datang sangat kacau, dan aku yakin itu pasti karena Anton lagi. Aku menyesap dua teguk teh dari cangkirku, dan kau masih terdiam disofa
dengan memeluk kedua kaki-mu. Seakan dunia yang rapuh ini tak lagi bersahabat denganmu.
“Ayolah katakan sesuatu melati” bisikku dalam hati, aku sudah tak
tahan dengan bisumu yang seperti batu. Ceritakanlah saja tentang apapun itu,
ceritakan saja tentang bagaimana Anton selalu membukan pintu mobilnya saat kau
akan masuk atau keluar dari mobilnya, atau bagaimana romantisnya Anton saat
membelai anak rambutmu saat kau terleleap, katakana saja walaupun sebebnarnya
ada rasa cemburu terselip di dadaku saat kau menceritakan itu semua.
Yah kalau saja bibir ini bisa berucap jujur tentang apa yang
kurasakan, tentu aku akan berkata marah sekali saat kau menceritakan kemesraan
kau dengan Anton setiap harinya. Ingin rasanya aku menyumpal mulutmu saat itu
juga. Tapi siapakah aku? Aku hanya seseorang yang hanya menjadi figuran dalam
kisah cinta-mu.
“Ar…” tiba-tiba saja kau memanggilku, tanpa menoleh kearahku. Ok
baiklah, segeralah bercerita melati, aku merindukan suaramu setelah sepersekian
detik ini. Ceritakanlah apa saja termasuk tentang Anton si pria romantic itu,
aku berjanji tidak akan cemburu. Aku akan berusaha seperti biasa.
“Arya, sepertinya aku akan mengakhiri semua dengan Anton” katamu
perlahan. Aku tekejut dengan ucapanmu
yang hanya satu kalimat itu. entah apa aku harus senang atau ikut sedih
mengdengar itu dari-mu. Lalu kau pergi keluar dari rumahku tanpa pamit dan
membiarkan the dipociku dingin tak bertuan.
Seminggu sejak kalimat terakhir-mu yang kau ucapkan
disofa kuning-ku. Kau tidak pernah muncul kembali disana, dirumahku.
Satu hari
baiklah, mungkin kau ingin sendiri karena sedang berkabung atas berakhirnya
hubunganmu dengan Anton, tapi seminggu? Belum cukupkah kau menyendiri didalam
rumahmu yang terlihat kelam karena pemiliknya yang selalu terlihat murung.
Bahkan kau ikut menghindar dariku.
Kulirik dari
balik pagar pembatas antara rumahku dan rumahmu, rasanya ingin ku bobol saja
pagar pembatas itu agar aku bisa
menghampirimu, Namun tak ada tanda-tanda kehadiranmu
hanya sepi yang terlihat dari sini.
Aku beranikan
diri mengetuk pintu rumah-mu, sengaja aku membawa teh dipoci seperti biasa dan
satu piring biscuit keju kesuakaan kita. Kembali kuketuk pintu rumahmu
karena belum mendapatkan respon sedikitpun, ada rasa khawatir yang menjalar
begitu cepat saat belum juga mendengar respon apapun.
“Klik” tiba-tiba suara kunci pintu terbuka, dan membuatku lega
akhirnya mendapatimu menyumbul dari balik pintu. Aku mencoba memberikan senyum
terbaikku sambil menyodorkan teh dan biscuit keju. Tanpa kata kau langsung
mempersilahkan aku masuk.
Kau tampak kacau, ada lingkar hitam bear membjuat matamu seperti
mata panda yang kelelahan. Rambutmu terlihat sama kacaunya, ada apa dengamu
sebelanarnya? Kau mempersilahkan aku duduk di sofa mu. Tanpa menunggu aku duduk disana dan menaruh teh dan biscuit
yang kubawa diatas meja. Kau pun duduk disampingku seperti biasa.
“Mel, kamu kenapa?” aku tak melanjutkan pertanyaanku karena tiba-tiba kau menamparku
cukup keras dipipi kiriku. Rasanya perih sekali mendapat serangan tiba-tiba
dari mu. Aku hanya terdiam masih kaget.
Aku memegang
pipi kiriku yang terasa nyeri dan pasti memerah, tapi tiba-tiba kau memelukku dengan erat. Serangan
tiba-tiba lainnya aku pun tak sempat menghindar dari cengkramanmu yang kuat dan
hangat. Kau menempelkan wajahmu tepat didadaku. Seketika jantungku berdegup
kencang tak karuan.
“Kenapa kamu nggak pernah ngerti sih Ar?” tanyamu masih memleukku
erat. Aku hanya diam masih belum bisa mencerna semuanya, tamparanmu lalu
pelukanmu.
“Kamu tuh orang paling bodoh yang pernah aku kenal tau gak!” bentak
Melati lagi.
“Kamu belum ngerti juga?” tanya Melati sambil mendongakkan kepalanya
kewajahku.
“Selama ini, selama ini Anton itu kamu Ar!! Kamu adalaha Anton yang
selalu aku ceritakan ke kamu!” Tegas Melati, tanpa melihat wajahku. Otakku kembali
mencocokkan antara aku dan Anton, dan memang baru kusadari semua cerita Melati
tentang Anton adalah sama hal yang sama kulakukan pada Melati. Tapi, kenapa aku tidak
menyadarinya? BODOH, pekikku dalam hati pada diriku sendiri.
“Dasar Cowok
nggak Peka” ujarnya sambil memandang mataku tajam.
“Kamu itu…”
“Aku sayang kamu
Mel” potongku sebelum Melati kembali mengomel tentang ketidak pekaanku terhadap perasaannya.
Melati terdiam, saat kalimatku terucap, dan kembali ia memelukku dengan erat.
“Aku lebih
sayang kamu” bisiknya dalam pelukanku. Aku tak mampu berkata apa-apa lagi.
Kurengkuh tubuh mungil melati dan membiarkan perasaan cinta ini saling mengalir
lewat pori-pori dan memberikan kehangatan yang akan selalu ada walaupun tak
mengepul. Sekali lagi Melati membiarkan Teh didepannya dingin dan tak bertuan.
1 Comments
Hmmm...membayangkan tetangga sebelah rumah mas septian...cantiik
ReplyDelete