Langit malam jakarta sudah
terlalu pekat, jalanan juga sudah mulai sepi. Sejak tadi angkot atau kopaja
mengklackson ke arahku berharap aku akan ikut naik. Tapi aku tidak bernafsu. Entah
kakiku akan membawa kemana. Aku butuh sendiri dan kedamaian, biasanya dengan
berjalan kaki tak tentu arah akan berhasil seperti yang sudah-sudah. Aku
menggenggam buku naskahku yang terdapat draft-draft novel yang tak pernah bisa
terselesaikan. Selalu saja ada kendala dan stuck bahkan baru saat di bab
pertama.
“Pada akhirnya kita semua tidak akan bisa jadi penulis. Mungkin kita
hanya terlalu banyak membaca hingga terlalu terobsesi untuk menjadi penulis
seperti mereka” Kalimat dari mentor di grup penulisanku itu sejak kemarin malam bergaung di kepalaku. Seperti
gaungan dalam gua yang kosong terpental kesana kemari sangat menyiksa. Memang itu
ia katakan di grup, tapi rasanya itu khusus untukku. Karena memang akulah
satu-satunya yang tidak berbakat di grup itu, mungkin aku selamanya akan
menjadi seseorang yang hanya mampu menuliskan curhatan-curhatan alay di diary tanpa bisa membuat buku
seperti para penulis besar. Atau setidaknya kawan seperjuangnku yang sudah
mampu menerbitkan buku walupun masih indie.
Aku sudah terlalu putus asa untuk
meneruskan langkahku untuk menjadi penulis. Mungkin aku harus berhenti menulis
dan mencari kegiatan lainnya. Dan sekali lagi mungkin memang benar apa yang
dikatan mentorku itu. Aku tidak berbakat dan tidak akan pernah bisa menjadi
penulis.
Sungai kalideres di sampingku
nampaknya begitu menggoda, airnya yang pekat dan penuh sampah pasti bisa
menyembunyikan tubuhku kelak. Tenggelam dan tersangkut sampah, sangat sempurna
hilang dari muka bumi ini. Toh sepertinya dunia ini tidak keberatan dengan
kehilangan satu orang manusia tak berguna dan tak berbakat ini. Mungkin hanya
bumi yang akan mengeluh karena aku mengotorinya dengan jasadku nanti.
Aku menengok ke kanan-kiri,
jalanan sudah sangat sepi bahkan kendaraan sudah jarang. Sekalinya ada ia
melaju dengan cepat. Aku menghirup udara di sekitarku dengan serakah,
menguatkan diri bahwa semuanya akan berakhir saat ini juga. Mimpi yang terlalu
tinggi, orang-orang yang tak pernah mencintaiku. Akhirnya aku harus mengambil
langkah ini, toh ini bukan pertama kalinya aku memikirkan untuk mati, sudah
berpuluhan kali aku menuliskan dalam diary. Satu-satunya yang menjagaku tetap
hidup adalah dengan menuliskan semua emosiku pada buku diary. Tapi kini tulisan-kupun
takan bisa menyelamatkan. Dan ini momen yang tepat sebelum ada yang mencegahku
apalagi berubah pikiran seperti sebelumnya.
PLUKK!!
Buku naskahku sukses tenggelam
perlahan dalam sungai yang pekat itu, kini tinggal sang empunya yang-kan
menyusul.
Bersambung...
Sumber gambar : https://id.pinterest.com/pin/172333123224110027/
12 Comments
Ditunggu sambunganny
ReplyDeleteDitunggu sambunganny
ReplyDeletesiap Kak Desi hehehe
DeleteHey! Jangan jatoh dulu. Dirimu belom bayar utang *eh ahahahah
ReplyDeleteutang apaan lagi putt... -_-
ReplyDeleteHei, jangan mati di situ, kau akan menyusahkanku, matilah di tempat lain, teriak sungai.
ReplyDeleteAh siapa itu yang teriak? Aku mengerjap-ngerjap, melihat ke arah suara. Dan....
ya Allah mau mati aja susah banget yaaa
DeleteDitunggu sambungannya, Mas?
ReplyDeletelihat gambar diatas ko rasanya ikut adem ya, rasanya gerah banget pagi ini. Mandi trus ke masjid.. slamat nyubuh mas..
siap mass sudah di buat hehehe
DeleteBersambung juga....di tunggu kelanjutannya ya
ReplyDeleteJangan terjun dlu, masih jomblo, eh, wkwk
ReplyDeleteIni lebih dalem dari sungainya...
Delete