"Sekali-kali kamu nggak pulang juga nggak apa-apa Karla…" teriak Mama dari dapur. Aku menutup kedua telingaku dengan bantal sofa dan mencoba terus berkonsentrasi dengan film drama kesukaanku. Tapi aku tidak bisa, kenyamananku telah terusik dengan teriakan Mama tadi, ditambah lagi omelan dan petuah yang tumpah ruah hingga saat ini, untungnya bantal ini bisa sedikit meredam suara mama.
Aku ingin berpura-pura tidak mendengarnya, tapi tidak bisa. Biasanya kalau Mama sudah kesal, ia akan mengambil remote televisi lalu mematikan sambil berceramah di depanku. Apa masalahnya gadis rumahan? Aku hanya malas dan tidak suka berarda di keramaian. Rasanya energiku akan terserap semua jika berada di tempat ramai. Mama tiba-tiba sudah duduk disampingku, memulai kembali ceramahnya tentang aku yang tidak akan mendapatkan pacar bahkan suami jika selalu mengurung sendiri dirumah.
Aihhh, lagipula aku masih kuliah dan aku sedang tidak berniat untuk pacaran. Untuk menikah-pun, itu masih jauh, malah aku tidak pernah memikirkannya sama sekali. Oke aku ralat, bukannya tidak pernah memikirkannya. Sejujurnya minggu-minggu ini aku sering memimpikan untuk segera menikah tapi, stop...stop berpikir tentang pernikahan!! Ini akibat drama terbaru yang dimainkan Alejandro. Di dunia nyata mana ada pria semacam Alejandro. Pria manis yang mencintai gadisnya secara diam-diam dan menyiapkan kejutan yang manis saat menyatakan cintanya.
"Ya bergaul-lah sepertiku kak.", ujar Bella yang baru saja muncul dari depan pintu rumah dan menghambur ke pangkuanku, sehingga rambutnya mengenai wajahku. Oouhh ya Tuhan!
"Iya bergaul sepertimu dan sehingga bau seperti sampah, maaf aku tidak mau." Rambutnya benar-benar bau. Baunya seperti terminal, campuran bau asap rokok dan asap kenalpot.
"Lihat apa Mama mau aku seperti dia?" mataku melotot sambil menyibakkan rambut Bella ke hidung Mama, ia langsung terbatuk mencium aroma rambut anak kesayangannya itu.
“Oke..oke tentu tidak. Ya Tuhan mandi sana kau Bella, baumu seperti truk sampah. Maksud Mama bukan seperti itu. Mama hanya khawatir, kau tahu Papamu sudah tidak ada. Bahkan mungkin bisa saja Mama sebentar lagi juga dipanggil untuk menyusul Papa. Kau harus belajar bersosialisasi, dan kau tahu jodoh tidak akan datang begitu saja mengetok pintu rumahmu dan mengatakan ‘Haloo aku jodohmu maka menikahlah denganku’ dia tidak akan datang seperti itu Karla. Kau juga harus berusaha mencarinya. Dan Kau Bella, kau harus bisa menjaga diri” Kami hanya mengangguk patuh.
***
Sepanjang malam aku terjaga memikirkan perkataan Mama, memang benar yang dikatakannya. Aku tidak bisa terus seperti ini, ada kalanya suatu hari aku membutuhkan orang lain selain Mama dan Bella.
“Bella, bisa kau antar kue ke rumah Bibi Elda?” Mama mengetuk kamar Bella yang tepat di sebelahku letaknya.
“Biar aku saja Ma” jawabku dengan cepat lalu segera keluar dari kamar dan menghampiri Mama yang berdiri di depan pintu kamar Bella.
Mama tampak terkejut dengan pernyataanku sepertinya, karena memang biasanya aku paling anti dan tidak mau jika diminta mengantar kue ke tetangga.
Dengan cepat aku mengambil kotak kue yang masih berada di tangan Mama, lalu berjalan keluar rumah dengan langkah seribu, sebelum Mama mempertanyakan alasannya atau cemas takut anaknya sedang hilang ingatan.
Matahari sedang terik sekali rupanya diluar, aku melihat pantulan wajahku yang terlihat pucat di jendela rumah yang kulewati. Aku mencoba mengingat-ingat rumah Bibi Elda, wajahnyapun aku samar-samar mengingatnya, parah padahal Bibi Elda-lah yang menjagaku dulu saat Mama mengurus pemakaman Papa.
“Hei Karla...” Tiba-tiba sebuah suara menyapaku.
“heeiii....” balasku cepat kepada sang empunya suara, aku menggigit bibir bawahku sendiri karena gugup dan malu karena tidak bisa membalas menyebut namanya. Aku benar-benar tidak tahu siapa dia, tapi dia mengenalku.
"Mau mengantar kue kemana? Apa Bella sakit parah sampai kau yang harus mengantar?" tanyanya polos. Rasanya aku akan tersinggung apabila laki-laki di sampingku mengatakannya dengan nada mengejek. Tapi ia tidak, dia benar-benar serius bertanya. Lagi pula kenapa harus marah? Mungkin semua orang di lingkunganku akan menanyakan hal yang sama jika melihatku saat ini.
"Tidak, ia hanya sedang tidur. Kasian dia semalam pulang larut."
"Syukurlah kalau seperti itu." ia berjalan disampingku dan berusaha menyamakan langkahku.
"Kau benar-benar tidak tahu namaku ya Karla?" tanyanya lagi. Aku tertunduk malu dan mengangguk perlahan tak berani memandang wajahnya.
"Aku Diaz, kita pernah bermain bersama saat kecil. Bahkan mandi bersama pernah." ujarnya lagi tersenyum manis, matanya sesekali mencuri-curi pandang kearahku.
"Bahkan kita dikelas yang sama dikelas Pak Fonsi." tambahnya lagi. Ya Tuhan sebegitu abainya-kah diriku selama ini. Sampai-sampai aku tak tahu siapa dia. Parah betul kau Karla.
"Maaf aku lupa." hanya itu yang keluar dari bibirku. Aku mencoba tersenyum, tapi pasti terlihat aneh.
"Jadi kau mau kirim kue itu kemana?" tanyanya lagi.
"Kerumah Bibi Elda"
"Loh bukannya, rumah Bibi Elda sudqh terlewat tadi. Itu rumahnya yang berpagar biru." ujarnya lagi sambil menunjuk sebuah rumah yang sudah terlewat tiga rumah.
"Wah sepertinya kau harus sering-sering keluar rumah Karla. Mari aku antar kesana. Owh iyya, namaku Luis. Kau boleh memanggilku Lu atau sayang juga boleh"
Terinspirasi dari MV Havana - Camilla Cabello
2 Comments
Bagus kakk seperti biasaa👏👏 btw luis itu siapanya kak? 😂
ReplyDeletemenarik untuk diikuti, saya berpikir ini sederhana.. tapi saya blm bisa bikin yang kaya gini..
ReplyDelete