Namanya Muhamad Septian Wijaya,
ia terbangaun dari tidurnya dengan segera. Ia merasa terlempar dari mimpi aneh
yang berlangsung selama hampir dua jam sehabis sahur tadi. Bahkan ia tak dapat
mengingat dengan jelas apa mimpinya tadi, mimpinya seperti potongan-potongan
film yang berantakan diotakanya.
Ia melihat jam dinding bundar
berwarna putih dengan lingkaran luarnya yang berwarna hijau citroen sudah
menunjukkan pukul jam enam lewat empat puluh lima. Ia bergegas keluar dari
kamarnya, dan egambil handuk dijemuran depan rumahnya yang hanya berupa tali
tambang plastik yang diikat pada tiang-tiang rumahnya.
Matanya mengerjap-ngerjap
pedih, dan ia masih berusaha mengingat-ingat
mimpinya tadi. Kepalanya terasa berat dan dunia serasa berputar cepat. Rasanya
ia seperti habis pesta semalaman suntuk dan menenggak minuman keras sebanyak
yang mungkin hingga rasanya kepalanya akan meledak. Tapi itu hanya dalam
mimpinya, bukan dalam dunia nyata.
Semalam ia hanya duduk membaca
novel Richard Farrel yang berjudul Whats left of us sampai tertidur. Ia memperhatikan
wajahnya dicermin kamar mandi, usut, rambutnya berantakan dan kedua matanya
benar-benar merah. Ia mengerjap-ngerjapkan mata merahnya berharap berubah
menjadi putih seperti biasanya. Tapi usahanya sia-sia saja, matanya tetap merah
menyalang, seperti darah telah merembesi bola matanya saat tertidur tadi. Lelah
mengerjap-ngerjap, ia mengguyur air ketubuhnya tiga kali dan merasakan sensasi
dinginnya air, lalu mengambil sabun cair yang sudah sangat sedikit isinya,
sehingga ia harus membuka tutup botolnya dan menambahkan sedikit air, agar ia
bisa menyabuni seluruh tubuhnya. Selesai dengan sabun, ia mengambil shampo yang
baunya seperti mawar, walaupun ia tahu itu sabun milik kakaknya dan akan
menambah ketombe dikepalanya. Ia terlalu malas untuk membeli shampo yang biasa
dipakainya. Ia mengguyur air dari ujung
kepala hingga kaki sampai tidak ada busa yang tersisa.
Tian begitu ia dipanggil dirumah,
dan selebihnya mereka memanggil dengan panggilan Septian, bahkan lebih banyak
Septi, entah mengapa mereka dapat memutuskan untuk memnggilnya Septi,
sebenarnya ia kurang senang dipanggil dengan nama Septi, karena itu adalah nama
Ibunya. Sama saja halnya seperti zaman Sekolah dasar dulu, anak-anak senang
sekali megejek dengan nama orang tua yang dapat dilihat di raport. Dan Tian
dulu menjadi salah satu anak yang sering terpancing emosi jika nama ayahnya
dipanggil-panggil. Tapi kini ia hanya tersenyum jika ada yang memanggilnya
dengan nama orang tuanya. Bukannya ia seharusnya bangga, karena mereka tahu
nama orang tuanya.
Selesai mengelap seluruh tubuhnya
dengan handuk, ia nelihat kembali ke cermin, memeriksa matanya apakah masih
merah atau tidak. Ia sedikit bersyukur, matanya yang sebelah kiri sudah seperti
sediakala, namun mata sebelah kanannya masih merah. Begitu keluar dari kamar mandi ia menyempatkan
menengok jam dinding diatas kulkas yang menunjukkan pukul tujuh lebih sepuluh
menit, ia langsung berlari ke kamarnya hanya dengan menggunakan handuknya
tersampir menutupi dari pinggang hingga lutut.
Rambutnya masih basah kuyup, Tian
terbiasa membiarkan kepalanya tidak dikeringkan dengan handuk, karena rasanya
aneh kalau sehabis mandi rambutnya tidak basah. Ia mengacak-acak lemari plastik
berwarna merah maroon itu dan mendapatkan kemeja hitam lengan panjang dan
celana panjang bwerarna cream. Ia melirik lagi jam, sudah lewat lima belas
menit. Bisa bisa telat ia sampai ketempat kerja, pikirnya. Selesai berpakaian
ia langsung menambil ranselnya dan segera memanaskan motornya sambil memakai
sepatu. Ia masih merasakan tubuhnya tidak seimbang, sehingga ia kehilangan
keseimbangan saat menurunkan motor dari selasar depan rumahnya yang menurun. Motornya
jatuh ke sisi kanan, dengan sigap ia menarik setang depan untuk membangunkan
motornya yang jatuh, tapi badannya terasa sangat lemah sehingga butuh tiga
menit untuknya mengangkat motornya agar dapat berdiri.
Ada sesuatu yang aneh pada
dirinya, ia dapat merasakannya. Sepertinya antara raga dan rohnya belum bisa
menyesuaikan dengan baik. Layaknaya seorang anak kecil memakai baju kebesaran,
ia akan tersandung dengan pakaiannnya sendiri.
Saat menaiki motor ia merasa
seperti melayang. Aneh, benar-benar aneh. Sepanjang perjalanan menuju tempat
kerjanya ia hampir saja mengalami kecelakaan, mulai dari mobil yang tidak
mengizinkanya menyalipnya sehingga ia hampir terserempet. Lalu wanita
pengendara motor disamping kirinya tiba-tiba ingin menyalipnya dan yang
terakhir pengendara motor dibelakangnya dengan tiba-tiba pula maju kedepannya,
saat ia sedang akan menyalip ke depan. Dan itu jika telat sepersekian detik
saja sudah pasti ia akan menabrak orang yang menyalipnya itu. Beruntung itu
tidak terjadi. Hanya saja jantungnya hampir loncat dan berdegup kencang sampai
saat ini, ia jadi bertanya ada apa dengan orang-orang disekitarnya hari ini? Sepertinya
mereka ingin membunuhnya.
8 Comments
Sepertinya tian blm bangun 100% Dari tidurnya..masih setengah Sadat antara mimpi Dan tidur..
ReplyDeletehehe bisa jadi mbaa wiwid
Deletesepertinya mas Ian ga baca do'a kluar rmh yah, warning tuh tuk lebh hati2 lgi
ReplyDeletesaya baca kok mba, itu gak pernah lupa baca doa itu hehehe.
Deletenyawanya belum kumpul itu...hehhee
ReplyDeletemungkin mba lisa hehe
DeleteSepertinya mas tian lagi lelah.
ReplyDeletehehehe lelah banget kayaknya :D mba Vinny
Delete