slider

Cerpen - The Meaning Of Life




Sejak ia menghinggapi tubuhku, ia mulai menghancurkan semua yang aku miliki. Tubuhku, yang dulu berisi kini kurus bagaikan mayat hidup.  

Keluargaku, sahabatku mereka menjauhiku karenanya. Aku bagaikan makhluk yang sangat menjijikan dan harus segera dienyahkan dari bumi ini. Aku takut sang kematian menjemputku!! Aku masih ingin hidup, tapi masih perlukah aku hidup?? 
Aku masih Ingat karena apa aku hingga ia menghinggapi tubuhku, tepatnya tiga tahun yang lalu. Malam itu aku dan teman-temanku sedang merayakan kelulusan kami di rumah temanku. Awalnya semua berjalan normal, tetapi semakin larut , keadaanya bertambah kacau, minuman-minuman keras yang tadinya tidak ada kini sudah ada beberapa teman-temanku sedang menikmatinya. Baunya sangat menyengat mengganggu hidungku yang tak terbiasa dengan aroma itu. Rasa ingin tahuku datang, ingin mencoba bagaimana rasanya minuman memabukkan itu. 
Ku coba meminum beberapa tegukkan, rasanya pahit tapi membuatku terasa hangat. Aku berhenti setelah lima tegukkan aku ingat ayahku yanga selalu memperingatkan aku tentang larangan meminum khamr atau alkohol dan jika ayahku tahu, aku bisa di gorok oleh ayahku. 

Jadinya aku hanya duduk di sofa panjang setelah memenuhi rasa penasaranku pada alkohol itu, di sofa iu sudah ada Daniel, Vonny, dan Fito yang sepertinya sudah kebanyakan minum karena mereka sudah tersenyum aneh khas orang mabuk tapi aneh-nya aku tak melihat sebotol pun alkohol disekitar mereka.
“Har! Gila. Elo ganteng banget” ujar Vonny nglantur sambil menepuk pundakku dengan keras.
“Kenapa lo Von?” tanyaku
“Gue? Gue nggak kenapa-kenapa, I’m Okey! Bahkan nggak pernah gue ngrasa sebaik ini sebelumnya” jawabnya.
“Oh iya, mungkin lo harus  nyoba ini, gue yakin elo bakal ngrasa jadi orang terbahagia didunia” ujar Vonny lagi sambil mengeluarkan sebuah suntikan dari kantong celananya.
“Apaan nih?”
“Udah pake aja, gue yakin masalah-masalah elo bakal ilang, menguap kaya embun!” tambah Daniel.
“Alah kelamaan lo Har. Sini gue pakein” Fito tak sabar lalu ia menghampiriu dengan suntikan yang diambil dari Vonny dan dengan cepat ia menusukkan jarum suntik itu ke lengan ku seakan-akan ia seorang dokter yang sudah sangat ahli dalam bidang suntik-menyuntik. Dengan cepat cairan dalam suntikan itu menyebar ketubuhku melalui pembuluh-pembuluh darahku, seketika itu juga kurasakan diriku menjadi sangat ringan sampai-sampai aku terasa terbang melayang diangkasa layaknya burung yang terbang bebas diangkasa dan hatiku terasa bahagia tanpa beban yang mengganjal.
****
Mimpi buruk akan kematianku, yang sepertinya semakin nyata. Tidak pernah membuatku merasa tenang, harusnya aku bisa menikmati bangku perguruan tinggi di UI. Dengan nilai-nilai Ujian Nasional dan SPMB yang tinggi. 

Tapi semuanya berakhir karena penyakit terkutuk ini, aku tak lulus tes kesehatan di UI dan aku kaget saat mengetahui kenapa aku tak lulus. Itu karena aku positif terkena HIV/AIDS seluruh keluargaku kaget, marah, dan malu terutama ayahku. 

Kini tak ada yang peduli lagi denganku. Orang tuaku-pun hanya datang berkunjung satu minggu sekali ke tempatku. Itu-pun biasanya hanya Ibu yang datang kalau-pun ayah menemani ibuku ia tak mau keluar dari mobil. Ia begitu membenciku. Gara-gara penyakit ini pula aku hidup seperti di pengasingan. Ayahku mengirimku atau lebih tepatnya membuangku kerumah kecil ini di desa yang sangat kecil, untuk urusan makan pagi, siang, malam dan segala kebutuhanku ada seorang wanita paruh baya yang selalu mengurusnya. 

Setiap pagi ia mengirimi aku sarapan sedangkan untuk makan siang dan malam ia memasak-nya dirumah kecilku ini sambil menemaniku. Semakin lama tubuhku seperti tengkorak hidup, karena kau sudah tak punya semangat hidup walau-pun wanita paruh baya itu selalu memasakkan makanan yang lezat untukku, tapi aku selalu menyuruhya membagikan ke orang-orang yang membutuhkan, wanita paruh baya itu sering mentapku dengan iba, tapi aku tak peduli. Aku lebih suka mengurung diri dirumah kecil ini. Kadang dalam kesendirianku aku mencaci maki Tuhan karena semua yang telah terjadi padaku.
Pagi ini seperti biasa aku masih tertidur pulas diatas kasur kapuk-ku, tiba-tiba suara pintu depan seperti diketuk. Pasti wanita itu yang mau mengantarkan aku sarapan, dengan malas aku bangun dari tempat. Ku putar dua kali kunci yang menggantung dilubang kunci itu.
“Pagi Mas! Ini saya bawakan makanan” ujar gadis didepanku riang lalu masuk kedalam rumahku tanpa aku persilahkan, aku hanya memperhatikan gadis itu masuk.
“Kak, jendelanya aku buka ya! Biar udaranya ganti dan nggak sumpek gini ujar gadis itu lagi sambil membuka semua jendela  yang ada dirumah kecil ini lebar-lebar. Sinar matahari pagi menyeruak  kedalam rumah membuat rumah yang tadinya gelap menjadi terang benderang membuat mataku silau sampai beberapa saat kemudian mataku baru bisa membiasakan dengan cahaya yang tiba-tiba masuk.
“Kakak baru bangun ya? Iiih pantesan bau, sana Mandi” perintahnya , aku hanya diam. Masih bingung, siapa dia sebenarnya dia? Berani-beraninya mengaturku tapi aku tidak marah walaupun ia menyuruhku  seperti ini. Aku masih diam. Tiba-tiba ia menyeret tubuh ringkihku menuju kamar mandi sambil memberikan handuk milikku.
“Mandi dulu biar seger, abis itu makan ya!” ujarnya lagi lalu meninggalkanku didalam kamar mandi sendiri yang masih bingung, tapi aku menuruti perintahnya. Setelah mandi aku segera mengganti bajuku, sebelum kekamar aku melihat gadis itu sedang menghidangkan makanan yang ia bawa dari rantangnya ke meja makan dengan sangat riang. Segera kupakai kaos lengan panjang dan celana katun berwarna krem.
“Gimana udah segerkan?!” tanya gadis ajaib itu begitu melihatku keluar dari kamar. Aku hanya mengangguk, lalu ia menyuruhku duduk dikursi meja makan yang diatasnya sudah tertata rapih makanan yang menggoda selera makanku. Gadis itu menyidukkan nasi kepiringku beserta lauknya.
“Ayo dimakan, jangan di liatin aja doang” gadis ajaib itu menyuruhku lagi, tapi aku hanya diam. Melihatku yang tidak bereaksi sedikitpun ia bangkit dari kursinya dan mengambil piringku lalu menyuapiku dengan cekatan. 

Dan sekali lagi aku mau menuruti perintahnya untuk membuka muluku saat ia bilang “Aa!” seperti anak kecil yang tengah disuapi oleh ibunya itulah aku saat ini. Seperti sedang dihipnotis atau lebih kasarnya seperti kerbau yang di cucuk hidungnya sehingga menurut saja yang ia perintahkan tanpa banyak komentar.
***
Namanya Melati, gadis riang itu sudah beberapa hari ini menggantikan ibunya yang biasa mengurusku, ia bilang ibunya sedang ada urusan dikota beberapa hari dan kebetulan ia sedang libur, ia baru kelas dua SMA.
Pagi ini aku bangun lebih awal dan sudah mandi tentunya. Aku tak mau Melati menyuruhku seperti hari pertama ia datang. Aku-pun  sudah membuka jendela lebar-lebar  sampai rumah kecil ini bermandikan cahaya mentari pagi. Melati-lah membuat perubahan pada diriku, aku sangat senang melihat wajahnya yang selalu dihiasi senyum riang. Membuatku bangkit dari keterpurukan dan ketakutanku pada kematian. Aku gelisah menunggu kedatangannya, ia berjanji akan mengajakku  jalan-jalan ia bilang sekali-kali aku harus berjalan-jalan jangan hanya didalam rumah seperti tahanan polisi mengurung diri. 
“Assalamualaikum!” suara riang Melati membuat ku setengah berlari dari kursi goyangku menuju pintu depan yang sengaja kubuka lebar-lebar agar aku bisa melihat Melati jika sudah datang.
“Waalaikum salam” jawabku senang melihat Melati sudah ada didepanku.
“Ayo kak!” ajak Melati, aku segera mengikutinya dari belakang. Kami berdua berjalan-jalan ke sungai sambil sesekali bermain air disungai seperti anak kecil, sampai baju kami basah kuyup tapi angin yang bertiup lembut membuat baju kami kering kembali. Setelah asyik bermain-main kami berdua beristirahat di saung sambil menikmati makan siang yang dibawa Melati.
“Mel, apa kamu tahu apa artinya sebuah kematian?” tanyaku tiba-tiba entah mengapa pertanyaan itu yang keluar dari bibirku.
“Kematian ya?” ia diam sejenak lalu memejamkan mata dan mengambil nafas dan menghembuskannya kembali dengan berat seakan sesuatu yang sangat berat menghimpitnya.
“Kematian! Hidup dan Mati hanyalah milik-Nya, kita tak pernah tahu akhir hidup kita. Allah-lah yang berkuasa mengambil setiap jiwa yang ada. Kita tak dapat menghalau datangnya kematian atau-pun memintanya. Setiap kehidupan pasti juga ada kematian. Bila saatnya tiba kita hanya bisa memasrahkan diri kepada Allah semata” jawab Melati.
“Puisi?”
“Iya. Ini buatan kakak aku sehari sebelum dia meninggal karena sakit TBC” kenang Melati sedih, air matanya tak terasa jatuh dari pelupuk matanya. Aku belum pernah melihat Melati menagis seperti ini.
“Sabar ya Mel, jujur sebelum aku ketemu kamu. Aku ngrasa hidup aku nggak berarti lagi. Apalagi aku ODH, orang tua aku ngbuang aku kesini! Mereka malu aku mengidap penyakit ini. Aku nggak punya siapa-siapa lagi Mel, dan aku hanya mau menunggu sang malaikat kematian menjemput aku” ujarku, kukira Melati akan merasa jijik setelah mengetahui kalau aku terkena Penyakit HIV, tapi ia tidak merasa jijik sedikit-pun. 
“Tapi sekarang Kakak punya Melati, punya Umi!. Kak Harry itu udah aku anggap kaya kakak aku. Melati anggap kakak itu pengganti Mas Setyo yang dikirim Allah untuk Melati. Jadi kakak nggak boleh ngomong kayak gitu. Hidup dan mati itu hanya ditangan Allah. Bukan sebuah penyakit” 
Nggak ada penyakit yang nggak bisa disembuhkan oleh-Nya. Walaupun dokter memvonis beberapa saat lagi akan meninggal tapi kalau Dia belum berkehendak, tidak akan terjadi. Manusia itu sendirilah yang selalu menam-kan kepikirannya jika ia akan mati  karena telah divonis oleh dokter, dan ia akan semakin terpuruk ke dalam pikiran negatifnya yang membuatnya menjadi tak bersemangat dan akhirnya mati karena sudah merasa kalah sebelum berperang” aku tertegun mendengar ucapan Melati yang sangat artinya sangat dalam.
Semua yang ia katakan  seratus persen benar. Manusia memang selalu menanamkan segala sesuatu yang negatif pada otaknya sehingga seluruh tubuhnya merespon dan mengakibatkan matinya hati dan akalnya.
Seperti keadaanku saat itu, aku terlalu patah patah semangat untuk hidup hanya karena penyakit yang menghinggapi tubuhku ini divonis tak ada obatnya. Sampai-sampai aku pernah mencoba mengakhiri hidupku, tapi untungnya ibu Melati buru-buru mencegahku untuk melakukannya. 

Aku tidak akan menyerah Mel, aku yakin akan tetap hidup sampai Allah menginginkan aku di sisinya dan tentunya Karena Allah telah mengirimkanmu untukku. Engkau bagaikan malaikat yang mengingatkan ku akan berartinya sebuah kehidupan ini, dan aku harus mensyukurinya.
***
Hari-hari ku kini tidak lagi-ku lewatkan dengan bermuram durja atau meratapi hidupku dengan menunggu malaikat kematian menjemputku. Desa kecil ini bukan lagi sebuah desa tempat pengasingan untukku. 

Tapi desa ini adalah surgaku, masyarakat disini malah sangat ramah padaku. Walaupun desa ini sedikit tertinggal, tetapi aku sangat mencintai desa ini. Aku disini dihormati malah aku diangkat sebagai guru SD karena direkomendasikan oleh Melati. 

Jadi aku tidak bisa bersantai-santai lagi dirumahku. Aku disibukkan dengan mengajar setiap pagi sampai siang dan kadang setiap malam membuat les untuk anak-anak yang akan mengikuti UN. Aku merasa lebih baik dari sebelumnya, aku disini sekarang lebih mendekatkan diri pada sang pencipta Allah SWT, yang telah menciptakanku dan yang telah mengatur segala sesuatunya untukku.
***
Akhir-akhir ini, aku sangat sibuk untuk persiapan anak-anak didesa ini karena sebentar lagi sudah saatnya untuk ujian akhir terutama anak-anak SMA. Malam ini akan ada les untuk persiapan UN untuk SMA dimushalla yang kebetulan dekat rumahku.
Mushalla ini dibagi dibagi dua kelas, kelas SMP dan SMA. Untuk SMP yang melati yang mengajar sedangkan SMA aku yang mengajar. Angin malam ini terlalu menusuk tulang rusukku walaupun aku menggunakan jaket tetapi teap saja terasa sekali dinginnya. Saat aku tiba disana anak-anak didik ku sudah duduk dengan rapih menungguku. Tanpa basa-basi aku langsung mengajarkan mereka yang sangat bersemangat mengikuti pembelajaranku aku pun tak kalah semangatnya untuk menstransfer ilmuku bukannya didalam Al-Qur’an disebutkan “Ajarkanlah   Al-Qur’an walau satu ayat”.
Ditengah saat aku sedang mengajar, tiba-tiba kepalaku terasa berat dan pening membuatku jatuh berlutut. Anak-anak didikku langsung mengelilingiku dan menanyakan bertubi-tubi padaku apa yang terjadi denganku. Semuanya berubah menjadi gelap, sayup-sayup aku mendengar suara Melati mencoba membangunkanku. Tapi aku makin tenggelam dalam kegelapan.
***
Kulihat Melati menangis untuk yang kedua kalinya. Wajahnya lebih sendu dari sebelumnya saat ia membacakan puisi buatan kakaknya yang telah meninggal. Tidak hanya Melati yang menangis tapi semua orang yang ada disini, disekeliling gundukan tanah merah yang masih basah. Kulihat kedua orang tuaku juga ada, tak ada sorot kebencian dari mata ayahku yang biasanya terlukis jelas, hanya ratapan penyesalan yang terlihat diwajahnya. Anak-anak didikku, teman-temanku di SMA dulu, dan hampir seluruh penduduk desa bersedih. 
Aku tak percaya, aku telah mendahului mereka. Tapia kau senag bahkan sangat puas karena kematianku tidak sia-sia. Kematianku bukan karena aku terpuruk oleh penyakit HIV tetapi karena Allah menginginkan ku untuk disisi-Nya. 

Tapi aku sedih karena kau berharap bisa melihat anak-anak didik ku berhasil dalam ujian nasional. Sang malaikat kematian menyeramkan kini anggapan itu ku tepis, Sang malaikat kematian sangat ramah dengan senyumnya yang bercahaya. Kini ia ada disampingku lalu ia menggandeng tanganku terbang kelangit ketujuh untuk bertemu dengan sang Khalik yang sudah tidak sabar ingin menemuiku. 

Terima kasih Melati kamu telah mengajarkan aku tentang arti hidup yang sesungguhnya. Kini aku tahu rencana Allah yang sesungguhnya dan aku tahu tak ada yang sia-sia.

Post a Comment

9 Comments

  1. Kasihan melati... Ditinggal untuk kedua kalinya.. Hikss...

    ReplyDelete
  2. Bacanya sampai deg degan...sukaa cerita bang ian

    ReplyDelete
  3. Bacanya sampai deg degan...sukaa cerita bang ian

    ReplyDelete
  4. semoga kejadiannya hanya di dunia khayal ya mas T_T

    ReplyDelete
  5. hiks sedih....tapi sempet ketawa liat foto editannya ian

    ReplyDelete