Kau marah.
Jelas sekali terlihat dari diammu
Dan betapa ‘tak bersemangatnya dirimu
menatap hujan yang biasa kau agung-agungkan.
Kau bergeming menatap hujan deras yang baru saja turun
dengan tiba-tiba tanpa pertanda.
Dari balik jendela, kau menatap kosong pada bulir-bulir yang
jatuh membasahi jalan.
Hanya karena mendebatkan sesuatu.
Hal-hal yang sesungguhnya tak berfaedah untuk didebatkan
pula.
Tentang bagaimana seharusnya bunyi hujan??
Kau bersikeras bunyi hujan seperti dalam lagu yang sering kita
nyanyikan kala kecil.
Tik..tik..tik..
Bunyi hujan diatas
genting
Namun aku tak sepakat denganmu.
Karena saat hujan tiba dan mengenai helm-ku ia berbunyi.
Tok..tok...tokk..
Dan saat ia jatuh secara berjamaah mengenai tanah di depan
rumah.
Ia lebih seperti desisaan atau dengkuran kucing yang
kelelahan karena bermain seharian.
‘Tapi tik..tik..tik adalah suara hujan yang universal, semua
orang pasti akan menaab seperti itu’ engkau bersungut-sungut.
‘Itu karena kita sudah dicekoki lagu itu sedari kecil’ aku
tak mau kalah.
‘Terserah’ sebuah jawaban pamungkas yang membuatku terdiam.
Pasrah.
Ahh sudahlah, aku tak mau berdebat denganmu lagi.
Kau memang selalu bisa mematahkan teori-teoriku hanya dengan
satu kata itu.
Aku tak peduli lagi dengan bunyi hujan.
Apakah itu tik..tikk..tikk atau tokk..tokk..tokk.. ataupun
seperti dengkuran kucing.
4 Comments
sudahlah .. biarkan saja. Makan mie sedap saja dulu ...
ReplyDeleteSudahlah yang lalu biarlah berlalu ka😌
ReplyDeleteBunyinya plethok plethok di atap rumahku
ReplyDeleteBerdebat itu asyik, bang.
ReplyDeleteApalagi berdebatnya dengan kesayangan. Eh.. Heehe