Hari kedua di sesi kedua, kepala
gue agak pengar setelah kemarinnya menyimak materi dari pagi sampai sore. Tapi
gue bela-belain terus ngikutin materi, walaupun kepala belakang gue sedikit
pusing. Pemateri kali ini adalah Agustinus Wibowo, dan gue bener-bener nggak
tahu siapa dia dan penulis buku apa. Saat gue memasuki ruangan, kebetulan
beliau sudah ada di stage.
“Dia bukannya tadi yang duduk di belakang gue pas sesi pertama tadi
ya?” bisik gue dalam hati. Dengan
gercep, gue buka google dan nulis kata kunci ‘Buku karya Agustinus Wibowo’ langsunglah
muncul beberapa gambar buku karya Mas Agus ini diantaranya Titik Nol, Garis
Batas dan Selimut debu. Terus gue dalam hati ber ohh-ohh ria. Ternyata selama
ini gue selalu melihat karya Mas Agus ini di Gramed, tapi karena dari covernya
kurang menarik menurut gue, terutama yang selimut debu itu macam buku misteri
gitu. Jadinya gue cuma nglewatinnya tanpa pernah berniat untuk membawa dia
pulang.
Agustinus Wibowo adalah seorang
fotografer dan penulis buku catatan perjalanan. Beliau juga traveler yang kerap ke luar negeri. Perjalanan
yang dilakukan bukan semata untuk memperbagus feed di instagram, tapi juga
untuk menyampaikan gagasan, mengungkap persalan-persoalan kemanusiaan di begri
yang antah berantah, mengungkap peristiwa-peristiwa yang terlupakan, bersinergi
dengan ilmu pengetahuan antropologi, sejarah, atau budaya.
Saat Mas Agus berbincang mengenai
perjalanan awal ia menjelajah tanah asing yaitu ketika kuliah di Cina saat
musim liburan dia menjajal untuk bacpacker ke Nepal, pengalaman pertamanya
backpacker ternyata tidak berjalan mulus. Ia harus dirampok sampai menyisakan
uang yang sangat sedikit untuk bertahan di negeri orang yang baru pertama kali
ia jejaki itu. Tapi itu tidak menyurutkan semangatnya untuk berlibur disana.
Malah ia berterimakasih kepada siapapun yang merampoknya kala itu, “Jika
saja saya tidak dirampok. Kemungkinan saya tidak akan berada disini saat ini.”
Kata Mas Agus saat menceritakan bagaimana ia dirampok. Ya Tuhan, dia
benar-benar postif banget ya orangnya. Selain selalu berpikir postif, dia juga
orang yang sangat bijak dari tutur katanya. Seketika gue langsung ngfans sama Mas Agus ini, berkat pengawasannya yang luas dan betapa humble-nya dia.
Kita punya mata, alis, hidung, dan
mulut tapi kita tidak bisa melihat mereka. Butuh cermin dengan jarak yang
tepat untuk melihat mereka. Begitu yang
diibaratkan Mas Agustunus saat banyak yang menganggap orang yang sering
traveling ke luar negeri itu tandanya tidak mencintai negerinya sendiri.
Mengenai kepenulisan
buku-bukunya, Mas Agus mengatakan ia tidak bisa menulis tanpa membuat outline. Berbeda
dengan Kak Ika Natassa yang lebih suka tanpa outline. Mas Agus akan membuat
point-point apa yang ada di kepalanya lalu mengurutkannya ide yang satu tema, setelah
semua apa yang dikepalanya selesai di tuliskan. Satu yang penting menurut Mas
Agus dalam menulis, yaitu kita perlu mengedepankan unsur AGUS alias Apa Gunanya Untuk Saya? Apa gunanya untuk saya menulis
itu? Apa gunanya untuk pembaca mengetahui tulisan-tulisan yang kita tulis.
2 Comments
sukaaaaa.
ReplyDelete"Satu yang penting menurut Mas Agus dalam menulis, yaitu kita perlu mengedepankan unsur AGUS alias Apa Gunanya Untuk Saya? Apa gunanya untuk saya menulis itu? Apa gunanya untuk pembaca mengetahui tulisan-tulisan yang kita tulis." <-- samaan
Betul itu.
ReplyDeleteApa gunanya nulis dan kenapa kita nulis, itu poin yang paling krusial tiap kali mulai menuangkan ide. Setuju banget sama Kak Agustinus. 👏
Makasih bang iyan artikelnya..