Dadang baru saja keluar dari
kamar mandi, dan mendapati Eneng isterinya memberengut di ujung ranjang.
Padahal baru beberapa jam yang lalu kedatangannya disambut dengan hangat dan
penuh cinta. Sudah empat bulan ini memang mereka berpisah karena Dadang ada
pekerjaan di kota sebagai kuli borongan untuk membangun gedung tinggi disana.
“Neng, eneng teh kenapah?.” Tanya
Dadang langsung duduk di samping Eneng dan menggamit kedua lengan Eneng ke
pangkuannya namun segera di tepis tangan Eneng.
“Jangan Pegang eneng.” Eneng
setengah berteriak, nadanya sudah hampir mirip dengan aktris sinetron di
televisi yang sering ia tonton. Dengan cepat Dadang berpikir keras apa yang
membuat Eneng berubah drastis begitu cepat. Bukankah semua uang hasil
bekerjanya selama di kota sudah ia berikan semua? Bahkan sudah tidak ada lagi
yang tersisa di kantongnya sepeserpun.
“Eneng ngomong atuh, kunaon?
Akang-kan bukan pesulap jadi nggak bisa baca pikiran eneng” Dadang menggaruk-garuk
kepalanya sendiri yang tak gatal. Ia bingung jika melihat isterinya sudah
seperti ini, apa semua wanita harus seperti ini jika sedang marah? Tanpa
berkata apa-apa tapi berharap pasangannya mengerti dan tahu apa yang mereka
rasakan atau pikirkan. Eneng hanya membalikkan badan, memunggungi Dadang yang
sudah tak sabar lagi dengan sikap Eneng. Dadang sudah terlalu lelah sebenarnya,
ingin langsung tidur karena seharian di perjalanan menggunakan bus untuk
kembali ke kampungnya untuk menemui isteri tercintanya yang baru dinikahi
setahun yang lalu.
Tiba-tiba ia teringat SMS Eneng
sebulan sebelum kepulangannya yang mengatakan bahwa tetangga-tetangga
sekitarnya sering mengatakan bahwa ia sedang mencari isteri baru yang bisa
memberikannya anak. Memang setelah satu tahun pernikahannya dengan Eneng mereka
belum juga dikaruniakan anak. Biasalah orang-orang suka menggunjingkan tentang
hal itu, tapi Dadang tak pernah mengambil hati soal itu. Ia sering mengingatkan
pada Eneng bahwa anak itu titipan, namanya titipan pasti harus ada kepercayaan
antara yang menitipkan kepada yang di titipkan. Jadi gusti Allah mungkin masih
belum percaya untuk menitipkan untuk mereka. Namun suatu saat nanti pasti Allah
akan memberikan.
“Akang teh nggak peka yah.” Eneng
buka suara juga akhirnya.
“Atuh kalau peka bukan orang,
putri malu tuh neng peka. Belum di pegang juga udah nguncup.” Dadang polos.
“Ihh naon sih, nggak lucu kang.
Akang tau lagunya republik yang baru nggak?” Dadang bengong, kenapa jadi main
tebak judul lagu macam kuis? Lagi-lagi dadang menggaruk kepalanya yang kini
terasa gatal. Shamponya tidak cocok sepertinya.
“Atuh eneng sekarang jadi pemandu
kuis? Pake nanya judul lagu segala?.”
“Ihh akang teh beneran boloho
atau pura-pua sih?.” Eneng gemas dan membalikkan badannya hingga mereka berdua
sekarang saling berhadapan. Eneng melihat wajah polos suaminya yang terlihat
frustasi. Tak tega sebenarnya ia marah-marah seperti ini, tapi ia merasa sangat
marah karena merasa telah di bohongi.
“Ini apa kang?? Bukti ini teh
buki! ini bukan selimut yang Akang bawa. Eneng inget banget, selimut kita teh
ada bordiran nama Eneng lope kang Dadang di ujungnya. Ini nggak ada!! Berarti
ini teh selimut tetangga!!!.” Bentak eneng sambil melempar selimut yang tadi di
genggamnya ke lantai.
#onedayonepost #Tantangan3 #cerpentanpasaltik
10 Comments
Boloho... 😄 baru tahu kata itu. Ceritanya lucu.
ReplyDeleteahahaha tanya kang @alfian tuh tau dia teh boloho apa..
Deleteboloho kalo bhs Indonesia nya blo'on, hahahhahaha
Delete“Neng, eneng teh kenapah?.” Tanya Dadang langsung duduk di samping Eneng dan menggamit kedua lengan Eneng ke pangkuannya namun segera di tepis tangan ..DADANG....
ReplyDeleteieu teh dadang atawa si eneng sih wkwk :D
ahahaha aduh saltik nih sepertinya aku gagal ahahaha
DeleteHahaha...keren keren
ReplyDeleteTapi masih banyak saltik pak ketum
wkwkwk iyya nih sepertinya aku butuh editor pribadi untuk membetulkan tulisanku ahahaha
DeleteSi akang pulang-pulang bawa selimut tetangga? Untung bukan sendal jepit kaya kabayan yak. Hahaha...
ReplyDeletewkwkwkwk iyya..
Deletejadi kesimpulan nya, gmn tuh? =D
ReplyDelete