slider

Terjerumus ke Sekolah Kebaikan dan Kejahatan Soman Chainani

 


 

Sudah hampir setahun gue tuh reading slump, alias gak baca buku sampai selesai. Sejak awal tahun berkali-kali ganti bacaan tapi pasti mandek di bab-bab awal. Bosen dan gak mau nglanjutin lagi. Tapi minggu-minggu ini gue coba maksain diri, baca tumpukan buku yang belum disentuh sama sekali setelah beli. Ada kali empat buku gue baca, tapi mood nya masih sama aja. Sampai akhirnya membuka salah satu buku yang menarik banget covernya, dan langsung jatuh cinta pada kalimat pertama.

“Seumur hidupnya, Sophie menanti dirinya untuk diculik”  Kalimat ini yang bikin penasaran dan terjerumus ke dalam dunia buatan Soman Chainani ini. Gimana nggak! Kalau dipikir-pikir mana ada sih orang normal yang berharap diculik? Nah ini Sophie malah mendambakan dirinya untuk diculik. Kenapa ini anak mau diculik? Emang enak ya kalau diculik? Ini bocah gila kali ya? Ujar gue dalam hati begitu kalimat pertamanya. Kalimat selanjutnya pun menjawab pertanyaan-pertanyaan gue.

“Malam ini, anak-anak di Gavaldon gelisah di tempat tidur. Jika Sang Guru datang menculik,  mereka tidak akan pernah kembali.”  Menurut kalimat selanjutnya, ternyata diculik oleh Sang Guru itu gak enak karena nggak akan pernah bisa kembali lagi. Dan yang membingungkan Sang Guru kenapa menculik? Bukannya yang namanya seorang Guru itu pasti mengayomi dan menjadi teladan yang baik ya. Bukan malah sebaliknya. Kita di jungkirbalik kan tentang fakta yang biasanya kita dapat.


Sophie dan Agatha

Buku berjudul School For Good and Evil ini punya dua karakter utama yaitu Sophie dan Agatha. Di desa kecil bernama Gavaldon yang terisolasi itu mereka hidup bersama dengan yang lainnya. Mereka berdua bersahabat, kedua gadis ini bersahabat bukan karena mempunyai sifat yang sama, malah kebalikannya. Sophie tipe gadis yang suka bersolek dan periang, sedangkan Agatha anak penyendiri yang lebih suka bermain sendiri di rumahnya yang suram bersama kucingnya. Ada sebuah mitos yang dipercaya oleh warga desa Gavaldon, setiap empat tahun sekali akan ada penculikan dua anak yang pelakunya mengaku bernama Sang Guru. Mereka diculik dan di masukkan ke dalam sekolah kejahatan dan kebaikan. Satu anak yang dianggap paling nakal dan buruk rupa akan dimasukkan ke sekolah kejahatan, sedangkan anak yang cantik/tampan dan baik hati tentu akan dimasukkan ke sekolah kebaikan.

Sophie yakin dia akan menjadi murid dari sekolah kebaikan karena kecantikannya, dan kebaikan nya(versi Sophie) yang sering dia lakukan. Salah satu kebaikannya berteman dengan Agatha, kandidat satu-satunya tahun ini yang akan dimasukkan ke sekolah kejahatan karena Agatha anak yang pemurung, benci anak laki-laki, benci anak kecil dan selalu berpakaian hitam layaknya penyihir jahat(tak lupa rumahnya yang berada di areal pekuburan  yang suram dan mengerikan). Sophie dan Agatha sering menghabiskan waktu bersama, karena mereka mungkin bisa dibilang punya satu kesamaan. Di lingkungannya mereka dianggap berbeda, Agatha dengan kesuramanna itu sedang Sophie dengan obsesinya menjadi cantik dan diculik oleh Sang Guru. Sophie pun berteman dengan Agatha karena yakin mereka berdua akan sama-sama diculik tahun ini. Jadi apa salahnya mulai berteman dengan Agatha.

 

Sekolah yang tertukar

Saat anak-anak lain bersembunyi dari Sang Guru, para orang tua menyuruh anak-anaknya yang baik dan cantik mencoreng-moreng muka mereka dengan lumpur dan abu. Lalu menyuruh mereka membentak serta  bersikap kasar. Pun sebaliknya anak-anak yang biasanya tampil lusuh dan nakal mereka mandikan, beri pakaian terbaik dan menyuruh mereka bersikap manis untuk sehari ini saja. Sophie malah mempersiapkan diri untuk diculik dengan berpakaian cantik dan menyiapkan kopernya untuk dibawa bersama Sang uru nanti. Benar saja, saat tengah malam sesosok bayangan hitam datang menyelinap ke rumah Sophie kemudian membawanya. Agatha yang melihat kejadian tersebut mencoba melepaskan Sophie dari bayangan hitam yang melesat membawa Sophie. Namun sayangaya ia malah ikut terbawa ke hutan yang tak pernah bisa dimasuki oleh penduduk. Kalau pun bisa, mereka tidak akan pernah kembali lagi. Sang bayangan hitam itu membawa mereka jauh ke dalam hutan, sampai ke sebuah pohon yang menjadi tempat burung tengkorak raksasa. Dari sana mereka  dibawa terbang melintasi malam kemudian dilemparkan ke bawah. Ke sekolah kejatan dan kebaikan. Namun entah bagaimana bisa Sophie malah terjatuh di sekolah kejahatan sedangkan Agatha jatuh ke sekolah kebaikan. Sophie yang tidak terima pun berusaha menyebrangi jembatan penghubung antar sekolah yang dijaga ketat. Namun hasilnya nihil, ia malah diseret ke sekolah kejahatan dan bertemu dengan makhluk-makhluk mengerikan yang siap membunuhnya. Sedangkan Agatha tersiksa karena murid-murid lainnya begitu arogan, cantik dan menjauhinya karena ia berbeda dan dianggap penyihir. Namun bukan sebuah keleiruan, karena nama-nama mereka terdaftar dan sudah mendapatkan jadwal masing-masing. Benarkah itu semua kekeliruan?

 

Cantik VS Buruk

Mungkin kalau gue boleh sotoy ya, tema yang diangkat oleh Soman Chainani yaitu tentang Self Love. Keren banget sih gimana dia meramu pesan tersembunyi dan tema yang diusungnya ini. Dan mengingatkan kita bahwa tak selamanya yang cantik itu selalu baik dan yang jelek itu selalu jahat. Ada satu percakapan yang yang gue suka banget di buku ini, tepatnya halaman 445-446. Ceritanya di Agatha lagi sedih banget karena teman satu-satunya yang dimiliki Agatha(yaitu Sophie) abis marahan dia dan meminta Agatha agar menyingkir dari kehiduannya.

“Bagaimana kalau muka saya Jahat?” tanya Agatha.

“Oh, Agatha, jangan konyo—”

“Bagaimana kalau muka saya Jahat?” Gurunya tersentak mendengar nada bicaranya.

“Saya jauh dari rumah, kehilangan satu-satunya sahabat saya, semua orang di sini membenci saya, dan yang saya inginkan hanyalah mencari cara untuk menemukan semacam akhir bahagia,” ujar Agatha, merah membara.

“Tapi Profesor bahkan tidak bisa mengatakan yang sebenarnya pada saya. Akhir kisah saya bukan soal Kebaikan apa yang saya lakukan atau apa yang ada di dalam diri saya. Melainkan soal penampilan saya.” Ludah menciprat dari mulutnya.

“Saya bahkan tidak akan pernah punya peluang.” Cukup lama, Profesor Dovey hanya memandang dari pintu. Kemudian, dia duduk di samping Agatha di meja, mencuil manisan plum, lalu menggigitnya sampai muncrat.

“Apa pendapatmu tentang Beatrix saat kau pertama kali melihatnya?” Agatha menatap permen plum di tangan gurunya.

“Agatha?”

“Entahlah. Dia cantik,” Agatha jijik, mengingat perkenalan mereka yang dipenuhi kentut.

“Dan sekarang?”

“Dia memuakkan.”

“Apa dia jadi kurang cantik?”

“Tidak, tapi—”

“Jadi, dia cantik atau tidak?”

“Ya, pada pandangan pertama—”

“Jadi, kecantikan hanya bertahan sesaat?”

“Tidak, kalau orang itu Baik—”

“Jadi, yang penting itu menjadi Baik? Aku kira kau tadi bilang soal penampilan.” Agatha ternganga. Tidak ada kata yang terucap.
“Kecantikan hanya bisa menutupi kebenaran untuk sementara waktu, Agatha. Kau dan Beatrix memiliki lebih banyak persamaan dari yang kau kira.”

 

Ending yang memuaskan

Sebagai pembaca gue was-was banget takut endingnya gantung atau gimana ya. Secara buku ini berseri dan sekarang sudah enam buku kalau gak salah ya. Nggak bisa aku tuh digantungin, apalagi tiga bukunya belum diterjemahin kayaknya sama BIP, dan semiga segera diterjemahkan. Tapi kaget banget dong sama endingnya, memuaskan dan memberikan twist yang menarik walaupun diawal ue udah sempat nebak pasti mereka akan tertukar sekolahnya. Mengingat sifat Sophie walaupun cantik dia itu menolong selalu dengan hati yang tidak tulus. Selalu ada hal yang dia inginkan dibalik kebaikannya itu.

 

Buku ini bagus banget, buku terbaik yang gue baca tahun ini. Dan gue menamatkannya kayak orang gila karena penasaran sama akhir dari kisah Sophie dan Agatha. Banyak bagian yang buat gue ngakak sendiri ngliat tingkah Sophie, Agatha dan kawan-kawan. Berita baiknya buku ini akan segera diangkat ke layar lebar lewat NETFLIX.

 

Post a Comment

2 Comments

  1. Uwuwu dah lama gak baca revieemu

    ReplyDelete
  2. Tiap baca review Mas Tian bawaannya pengin baca bukinya. Eh, typo, bukunya.

    ReplyDelete